Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force pernah mencatat nama seorang pemuda Indonesia sebagai anggotanya. Dengan pangkat Wing Commander,
pemuda tersebut telah melakukan tugas-tugas navigasi dan tempur selama
Perang Dunia II di Eropa dan Asia. Tidak kurang dari 44 kali ia
melakukan tugas penerbangan (flight mission) dengan menggunakan pesawat Lancaster atau Liberator.
Di Eropa sasarannya adalah daerah Prancis dan Jerman, sedangkan
pangkalan operasinya terletak di Inggris. Di Asia sasarannya adalah
daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia, sedangkan pangkalan operasinya
terletak di Colombo (Srilangka). Setiap kali pula ia berhasil ke
pangkalannya setelah melakukan tugas-tugasnya dengan berhasil baik.
Di luar tugas-tugas tempur yang menuntut
tugas sikap tegas, dan hampir-hampir tidak mengenal belas kasihan, ia
adalah seorang pemuda yang menarik. Sikapnya yang ramah, tutur katanya
yang baik dan rendah hati memberikan gambaran yang cukup kontras
dengan sikap yang harus dilakukannya ketika pesawat-pesawatnya harus
menjatuhkan bom-bom di daerah musuh. Dalam kesibukan tugas sebagai
navigator, pemuda ini masih menyempatkan diri untuk mengirim hadiah
ulang tahun kepada istri melalui seorang temannya. Pemuda yang
bertubuh kurus dan agak tinggi itu bernama Halim Perdanakusuma
dilahirkan pada tanggal 18 November 1922 di Sampang Madura, pulau yang
terkenal karena garam dan karapan sapi itu. Ayahnya, Haji Abdul Gani
Wongsotaruno adalah Patih Sumenep. Karena itu tidaklah mengherankan
bila si ayah mengharapkan agar putra ketiga dari lima bersaudara itu
kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pamongpraja. Sifatnya
yang ramah dan periang, menyebabkan Halim banyak memperoleh sahabat.
Selain itu ia juga memiliki perasaan halus yang tercermin dalam
kesenangannya kepada musik dan seni lukis. Di bidang seni musik ia
dikenal sebagai pemain biola yang cukup memukau. Lukisan yang banyak
dibuatnya memberikan kesan bahwa ia memiliki bakat dibidang ini.
Pendidikannya diawali dengan memasuki HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Sumenep pada tahun 1928 dan tamat tahun 1935. Setelah tamat ia melanjutkan sekolah ke MULO ( Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs)
di Surabaya. Dalam tahun 1938 ia sudah menggondol ijazah MULO.
Sejak sekolah ia sudah diarah oleh ayahnya untuk menjadi seorang
pamongpraja. Karena itu setelah ia menamatkan MULO ia langsung
dikirim ke Magelang, menempuh pendidikan pada MOSVIA (Mideelbaar Opleiding School Voo Inlandsche Ambtenaren = Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pangrehpraja Hiandia).
Ternyata harapan siayah tidak
terkabul. Halim sebenarnya tidak membantah keinginan itu dan ia pun
cukup pandai untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan
kepadanya. Tetapi perubahan situasi menyebabkan Haji Abdul Gani tidak
sempat melihat ananya menjadi seorang pegawai pemerintah. Menjelang
akhir tahun 1939 di Eropa pecah Perang Dunia II. Bulan Mei 1940
negeri Belanda diduduki Jerman. Pemerintah Hindia Belanda segera
mengumumkan milisi umum di Indonesia untuk menghadapi kemungkinan
menjalarnya perang ke wilayah ini.
Ketika itu Halim masih duduk ditingkat
dua MOSVIA. Sebagai seorang pemuda ia tidak luput dari kewajiban milisi
itu. Angkatan Laut Hindia Belanda menentukan tempat baginya yaitu
pendidikan opsir torpedo di Surabaya. Tetapi pendidikan ini tidak
sampai diselesaikannya. Akhir tahun 1941 Jepang menjamah wilayah
Pasifik. Tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang Pangkalan Angkatan
Laut Amerika di Pearl Harbor. Sesudah itu mereka mengarahkan ancamannya
ke Indonesia, wilayah yang memiliki bahan mentah yang sangat penting
bagi keperluan perang itu. Angkatan Perang Hindia Belanda tidak mampu
menandingi keunggulan Angkatan Perang Jepang. Tanggal 8 Maret 1942
Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di
Kalijati, Jawa Barat.
Sebelum penyerahan tanpa syarat terjadi,
Halim beserta seluruh staf dan siswa pendidikan Opsir Angkatan Laut
Hindia Belanda telah dipindahkan ke Amerika Serikat. Di tempat yang
baru ini ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
militernya. Ia pindah mengikuti pendidikan pada Royal Canadian Air Forces sebagai peninjau.
Tugas-tugas yang dilakukan Halim selaku
penerbang Angkatan Laut , banyak terpusat di Eropa. Di benua inilah
ia memperoleh kematangan jiwa dan pengalaman yang kelak disumbangkan
bagi bangsa dan negaranya.
Sesudah perang berakhir, ia kembali ke
Indonesia. Ia tidak lagi menemui kekuasaan asing di wilayah ini.
Sebuah negara baru sudah berdiri. Suatu pemerintahan yang dipimpin
oleh bangsanya sendiri, giat membenahi diri. Tetapi pemerintahan itu
pun sedang menghadapi tantangan dari kekuatan luar yang ingin kembali
menegakkan kekuasaannya yang lama.
Dalam suasana demikian, tidak sulit
bagi Halim untuk mencari tempat di tengah-tengah bangsanya.
Pengalamannya memberikan arah ketempat yang harus dipilihnya. Pada saat
itu pula S. Suryadarma dibantu oleh beberapa tenaga lain seperti
Agustinus Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh, sedng sibuk membangun
kekuatan udara. Kedatangan Halim Perdanakusuma di tanah air diketahui
oleh S. Suryadarma . Seorang utusan, Kapten Udara Arifin Marzuki yang
kebetulan adalah adik ipar Halim, dikirim untuk menemuinya. Utusan
itu membawa pesan Suryadarma mengajak Halim untuk turut menyumbangkan
tenaganya membangun kekuatan udara. Ajakan itu diterima dengan senang
hati. Halim segera berangkat ke Yogyakarta dan sejak saat itu
mulailah kesibukannya membina TKR Jawatan Penerbangan.
Halim Perdanakusuma (tengah) sedang memberikan instruksi kepada dua orang penerjun yang akan melaksanakan latihan
|
Sesuai dengan keahliannya dan pengalaman
yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagi Perwira Operasi. Ia
bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas operasi udara. Tugas itu
meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda,
mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan
pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam
rangka pembinaan wilayah.
Disamping itu ia diserahi pula tugas
sebagai instruktur navigasi di Sekolah Penerbangan yang didirikan dan
dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto. Halim tidak mungkin menyamakan
keadaan sekolah itu dengan keadaan sekolah sejenis yang pernah
dimasukinya di Royal Canadian Air Forces. Di situ ia belajar
dengan fasilitas yang serba lengkap. Tetapi di tanah airnya ketika
itu, mengharapkan fasilitas yang demikian tak ubahnya seperti ‘minta
tanduk kepada kuda’.
Sekolah Penerbang itu masih bersifat
serba darurat. Tenaga Instruktur kurang, begitu pula fasilitas
lainnya. Pesawat yang digunakan untuk latihan ialah pesawat latih
lanjut Cureng, peninggalan Jepang. Tanda-tanda instrument tertulis
dalam huruf kanji. Dari segi fisik, pesawat itu sudah tergolong tua.
Tetapi untunglah, baik instruktur maupun pelajar tidak lekas putus
asa. Kekurangan fasilitas tidak menjadi hambatan yang menyebabkan
pelajaran terganggu. Semangat untuk mempertahankan negara ternyata
mampu mengalahkan kesulitan yang dihadapi. Bila dikehendaki oleh
situasi, dan hal itu seringkali terjadi, para kadet belajar terbang
sambil melakukan tugas operasi. Demikian pula instrukturnya, sambil
memberikan pelajaran sekaligus melaksanakan tugas yang berkaitan dengan
pembinaan organisasi.
Salah satu tugas yang dibebankan ke
Angkatan Udara pada waktu itu ialah membawa para pejabat yang akan
melakukan perundingan dengan pihak Serikat di Jakarta tentang
pengangkutan tawanan perang dan kaum interniran. Kesempatan itu
sekaligus ingin dimanfaatkan untuk mengembangkan sayap tanah air dalam
rangka pembinaan wilayah udara di daerah-daerah. Tanggal 23 April
1946 tiga buah pesawat Tachikawa 98 Cukiu tinggal landas dari
Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta menuju Jakarta. Ketiga pesawat
tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran-Jakarta,
setelah menempuh penerbangan selama satu tiga perempat jam. Pesawat
yang ditumpangi Komodor Muda Udara Halim mengalami kerusakan pada alat
pendaratnya. Tetapi penerbang dan penumpangnya selamat. Dalam
pesawat itu Halim bertindak sebagai navigator.
Esok harinya, dari Jakarta dilakukan
terbang formasi 3 pesawat ke Lapangan Terbang Gorda di Banten kemudian
lewat Selat Sunda penerbangan dilanjutkan ke Sumatera Selatan.
Karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan
perjalanan dan kembali ke Banten. Sesudah beristirahat di Banten,
ketiga pesawat itu kembali ke Yogyakarta.
Penerbangan formasi tidak hanya
terbatas dilakukan ke jurusan barat saja, melainkan ke segala jurusan.
Yang menarik perhatian diantara penerbangan ini adalah penerbangan yang
untuk pertama kali dilakukan ke pulau Madura tanggal 12 Mei 1946.
Penerbangan adalah Opsir Udara I H. Sujono dan Navigator Halim.
Berhubung lapangan terbang di pulau Madura belum disiapkan, maka
mereka terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan
pembuatan garam. Setelah ke Madura, Halim kembali melakukan
penerbangan ke arah barat yaitu ke Sumatera Selatan. Pada tanggal 20
September 1946 bersama pilot Opsir II Imam Suwongso Wirjosaputro
berangkat dari Yogayakarta menuju Pangkalan Udara Karang Endah, dekat
Palembang untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.
Halim Perdanakusuma (kanan) bersama Kasau Surjadi Suryadarma (kiri) dalam sebuah kegiatan
|
Menghadapi Agresi Militer I Belanda,
AURI tidak tinggal diam. Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada
hari Minggu tanggal 21 Juli 1947. Mereka memulai aksinya dengan
melakukan pemboman dan penyerangan dari udara secara serentak terhadap
semua pangkalan udara Republik Indonesia sehingga banyak menimbulkan
kerusakan. Hanya lapangan terbang Maguwo Yogyakarta, pada hari itu
terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal. Seluruh
rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa
Timur mendapat gilirannya.
Mereka menjatuhkan bom-bom ringan dan
roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan
terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat
Tasikmalaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi
dekat Lumajang. Lapangan terbang Bugis dekat Malang mengalami kerusakan
paling berat. Sejumlah besar pesawat terbang dihancurkan di landasan
oleh pesawat-pesawat tempur musuh. Dengan demikian seolah-olah
Angkatan Udara RI telah lumpuh. Untuk menunjukan kepada dunia luar
bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim
Perdanaksuma mendapat perintah untuk menyusun serangan balasan
terhadap lawan. Setelah rencana tersusun dengan baik ditetapkan hari H
dan Jam J nya. Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 05.00
pagi tiga buah pesawat telah disiapkan di lapangan terbang Maguwo
untuk melakukan serangan udara. Kepala Staf Angkatan Udara Komodor
Udara S. Suryadarma ikut melepas keberangkatannya. Mula-mula lepas
landas pesawat Mitsubishi 98 Guntei jenis pembom penyelundup
dengan penerbang Muljono dan penembak Abdulrachman menuju sasaran
Semarang. Pesawat dilengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom
dengan seberat 40 kg. Kemudian menyusul 2 buah pesawat Cureng
masing-masing dengan penerbng Suharnoko Harbani dan penembak udara
Kaput menuju sasaran Ambarawa dan sebuah lagi dengan penerbang
Sutardjo Sigit dan penembak udara Sutardjo dengan sasaran Salatiga.
Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan dua buah bom seberat 50 kg yang
diletakan di kiri dan kanan sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan
satu peti peluru mortar seberat 15 kg. Misi serang udara atas daerah
pendudukan musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang
direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.
Selain itu, pada waktu dilakukan operasi
penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi
banyak memberikan andil dalam pelaksanaannya. Operasi ini dilakukan
pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002
dan berhasil dengan baik.
Agresi Militer I Belanda sangat
dirasakan akibatnya oleh Republik Indonesia. Untuk menembus blokade
Belanda terhadap daerah Republik Indonesia, telah ditempuh berbagai
cara. Salah satu adalah lewat udara. Republik Indonesia berhasil
menarik simpati dunia luar antara lain dengan datangnya
pesawat-pesawat asing ke Indonesia. Selain itu dirasakan pula betapa
pentingnya perhubungan antara Jawa dan Sumatera. Kedunya merupakan
daerah terpisah yang harus dapat dihubungi satu sama lain. Baru pada
tahun 1947 dilakukan usaha nyata ke arah itu. Pesawat-pesawat
bermotor satu buatan Jepang tidak sesuai untuk Sumatera. Daerahnya
masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya jauh,
penduduk jarang dan jalan-jalan buruk. Berhubungan dengan itu pada
permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut Dakota dari luar
negeri. Ibukota Sumatera waktu itu Bukittinggi harus mempunyai hubungan
langsung dengan Yogyakarta. Sesudah lapangan terbang disiapkan secara
gotong royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan
mendarat sebuah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi. Akan
tetapi berhubung dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak
dapat diselenggarakan secara tetap. Karena kesulitan perhubungan itu
konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan. Namun oleh
Pemimpin Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimana pun juga AURI
harus dibangun di Sumatera. Keputusan ini diambil mengingat situasi
politik semakin genting, dimana Belanda sewktu-waktu dapat merebut dan
menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa. Apabila hal
tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjungan dan persiapan
ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.
Tugas untuk membangun AURI di Sumatera
dipercaya kepada Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Beliau sangat
erat berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pendapat
dan sarannya tentang Angkatan Udara sering diminta oleh Jenderal
Soedirman. Pemerintah menugaskan Halim ke Sumatera dan diangkat
sebagai pejabat AURI di Komandemen Tentara Sumatera . Selama
melaksankan tugas , Halim berhasil menjalin kerjasama dengan Panglima
Tentara di Suamtera dan masyarakat di daerah itu. Bahkan lebih
daripada itu ia berhasil menghimpun dana mengumpulkan emas dari rakyat
untuk kemudian digunakan membeli pesawat. Salah satu bukti hasil
pengumpulan dana adalah dengan berhasil dibelinya sebuah pesawt Avro
Anson dengan registrasi VH-BBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg
emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.
Usaha pembinaan keluar dan ke dalam
terus ditingkatkan. Setelah Bukittinggi menyusul perbaikan beberapa
buah pangkalan lain. Satu konsep yang akan dipakai sebagai dasar bagi
pembangunan AURI khususnya di Suamtera telah disusunnya pula. Juga
usaha membuka hubungan dengan luar negeri untuk mendapatkan bantuan
senjata dan logistik lainnya untuk keperluan perjuangan, terus
dilakukan. Dalam kaitan usaha mencari bantuan ke luar negeri inilah
Halim bersama Opsir Udara I Iswahjudi pergi ke Bangkok pada bulan
Desember 1947.
Halim Perdanakusuma (paling kanan) ketika di Pangkalan Udara Gadut Bukittinggi
|
Ia bertolak ke Bangkok dengan menggunakan pesawat Avro Anson VH-BBY
(RI-003) dengan penerbang Iswahjudi dan seorang penumpang bernama Keegan
berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut. Selain
mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk melakukan penjajakan
lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat serta
melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI mengatur penukaran dan
penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan
kemudian memasukan barang Singapura ke daerah RI menembus blokade
Belanda.
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali
berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah
tiba-tiba di daerah Perak-Malaysia pesawat tersebut terjebak dalam
cuaca buruk. Pesawat jatuh di Pantai Tanjung Hantu Perak-Malaysia.
Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2
orang warga Cina penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang pada
sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947. Seorang petugas
kepolisian berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ketempat
musibah. Baru pada pukul 18.00 ia tiba dilokasi kejadian. Ia tidak
menemukan sesuatu, air sedang pasang naik. Baru pada keesokan
harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi
Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba
ditempat pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang
ditemukan sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari
lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke
darat. Juga ditemukan barang-barang lain diantaranya sebuah dompet ,
buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang tidak ada
pistolnya, sarung pisau dengan nama Keegan di atasnya, dan beberapa
potong pakaian.
Jenazah kemudian dibawa kerumah sakit Lumut untuk
dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan bukti yang ada dapat dipastikan
bahwa jenazah ini adalah jenazah Halim Perdanakusuma. Sedangkan nasib
Iswahjudi hingga sekarang tidak ditemukan jenazahnya. Berita tentang
kecelakaan pesawat RI-003 ini segera tersiar luas, diantaranya dimuat
dalam surat-surat kabar berbahasa Inggris seperti The Times dan Malay Tribune terbitan tanggal 16 Desember 1947.
Banyak tokoh politik dan tokoh masyarakat Malaya menaruh
perhatian terhadap peristiwa tersebut. Lebih-lebih mereka yang
menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Diantara adalah
adalah Ketua Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) bernama Ishak Haji
Muhammad (Pak Sako) yang kebetulan sedang berada di Ipoh. Setelah
mendengar berita tersebut ia segera mengirim telegram kepada kepada
Ketua Cabang PKMM Didings bernama Nuruddin Tak untuk memberikan
bantuannya. Dengan diketuai Nuruddin Tak dibentuk sebuah panita
pemakaman. Panitia segera menghubungi polisi Lumut untuk meminta izin
mengadakan upacara pemakaman. Karena sebaain besar terdiri atas
anggota PKMM, polisi Lumut yang sebagian besar terdiri atas orang
Inggris mencurigai usaha itu. (PKKM adalah satu organisasi politik
yang menuntut kemerdekaan lepas dari tangan Inggris). Lewat suatu
perdebatan, akhirnya izin diberikan dengan syarat tidak boleh diadakan
secara besar-besaran. Karena di Lumut belum ada makam orang-orang
Islam, maka panitia mencari daerah lain. Daerah tersebut adalah Teluk
Murok terletak sekitar 5 km dari Lumut. Pada tanggal 19 Desember 1947
dilakukan upacara pemakaman menurut agama Islam. Dr. Utojo wakil RI di
Singapura tiba di Lumut. Beliau terlambat datang karena di beberapa
tempat Malaya bagian barat sedang dilanda banjir. Disekitar tempat
kecelakaan , Dr. Utojo menemukan sebuah kipas dan pecahan piring,
mangkok yang tersebar di tempat kecelakaan. Kemungkinan semua itu
adalah oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
Dengan gugurnya Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma
berarti bangsa dan negara harus merelakan seorang putra terbaiknya.
Khususnya bagi Angkatan Udara berarti kehilangan seorang prajurit
navigatornya yang cakap dan berpengalaman, yang justru sangat
diperlukan pada saat itu. Lebih-lebih almarhum adalah salah satu dari
2 orang navigator yang dimiliki Angkatan Udara pada saat itu.
Hilangnya almarhum berarti pula hilangnya seorang Perwira Operasi
Angkatan Udara yang cepat dalam melakukan perencanaan, tegas dalam
tindakan dan cepat dalam mengambil keputusan. Juga dengan gugurnya
Halim berarti kehilangan salah satu pimpinan Angkatan Udara yang
berani, penuh disiplin, bertanggung jawab dan disenangi baik oleh rekan
maupun oleh bawahannya.
Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina
dan seorang anak laik-laki bernama Ian Santoso. Nama itu diberikan
sebagai kenang-kenangan terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander
berkebangsaan Scotlandia yang gugur dalam Perang Dunia II sewaktu
melakukan tugas penerbangan bersama Halim. Sebagai putra ketiga dari
lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik.
Salah seorang adiknya adalah Makki Perdanakusuma, Marsekal Muda TNI.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya terhadap
Angkatan Udara maka pimpinan TNI Angkatan Udara menaikan pangkatnya
menjadi Laksamana Muda Udara (sekarang Marsekal Muda Udara) Anumerta.
Untuk mengabadikan namanya, pada tanggal 17 Agustus 1952 nama Pangkalan
Udara Cililitan diubah menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tanggal 15 Februari 1961, bersama-sama dengan penganugrahan bintang jasa
kepada almarhum Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Halim Perdanakusuma
memperoleh Bintang Mahaputra tingkat IV. Penghargaan tertinggi
diberikan pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional.
Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1975,
kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan
dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di tempat yang lebih
layak, yakni di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Lebih dari semua
penghargaan itu, Abdul Halim Perdanakusuma telah mendapat tempat
dihati bangsa
0 komentar:
Posting Komentar